Langsung ke konten utama

Perlunya Terobosan di SMK


Oleh : Imam B. Prasodjo
Sosiolog UI. Direktur Yayasan Nurani Dunia
Kompas, Sabtu, 22 September 2018 : 6


Indonesia adalah negeri yang dapat diibaratkan seperti kapal besar yang membawa penumpang begitu banyak. Dari 265 juta penumpang yang berada dalam lambung kapal di tahun 2018 ini, lebih dari separuhnya (133,9 juta) masuk kategori angkatan kerja, dan yang tercatat bekerja berjumlah 127,07 juta. Ironisnya, menurut BPS (Februari 2018), dari 127,07 juta penduduk yang bekerja ini, hampir 60% (75,99 juta) hanya berpendidikan SMP ke bawah. Artinya, kapal besar ini, berisi para pekerja dengan pengetahuan dan ketrampilan sangat terbatas. 

Belum juga kita terpana dengan data ini, dahi kita pun berkerut membaca data BPS yang mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendidikan, tak serta merta mereka mudah mendapatkan pekerjaan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kalangan angkatan kerja berpendidikan sekolah menengah atas justru lebih tinggi dibadingkan dengan mereka yang memiliki tingkat pendidikan di bawahnya. Bahkan yang mengejutkan, mereka yang berpendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) memiliki TPT tertinggi, 8,92%. Bandingkan dengan TPT kelompok pendidikan lain: SD ke bawah, 2,67%; SMP, 5,18%; Universitas, 6,31%; SMA, 7,19%; dan Diploma I-III, 7,92%. 

Lantas, ada apa dengan SMK? Bukankah SMK adalah jenis sekolah yang dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa siap bekerja saat mereka lulus? Bukankah kurikulum SMK dibuat sedemikian rupa dengan beragam program keahlian yang ditawarkan agar dapat menyesuaikan kebutuhan dunia kerja? Dalam penjelasan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 disebutkan: “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu.” 

Kemudian, dalam Garis–Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) kurikulum SMK, secara lebih rinci disebutkan bahwa salah satu tujuan khusus didirikannya SMK adalah untuk “menyiapkan peserta didik agar menjadi manusia produktif, mampu bekerja mandiri, mengisi lowongan pekerjaan yang ada di dunia usaha dan dunia industri sebagai tenaga kerja tingkat menengah, sesuai dengan kompetensi dalam program keahlian yang dipilihnya.”

Dalam data Statistik Persekolahan SMK 2017/2018, saat ini ada 13.710 SMK yang tersebar di seluruh Indonesia. Kita pun terbayang, apa yang terjadi dalam proses pengajaran pada sekolah jenis ini. Pada 2017/2018 ini, jumlah keseluruhan siswa ada 4.904.031, dan yang lulus mencapai 1.300.521. 

Ke manakah mereka saat ini? Akankah mereka menjadi rombongan kandidat pengangguran terbuka baru? Para ahli pendidikan tentu telah banyak membahas hal ini. Dalam tulisan pendek berikut, saya mencoba ikut sumbang saran agar SMK yang menjadi tumpuan harapan jutaan siswa dapat lebih efektif dalam mencapai tujuannya.

Memerlukan Terobosan

Dengan melihat data di atas, secara umum kita dapat mengambil kesimpulan, penyelenggaraan pendidikan SMK masih jauh dari kualitas yang diharapkan. Tak tertutup kemungkinan, materi ajar yang diberikan di SMK pada umumnya kurang sesuai (mismatch) dengan tuntutan lapangan pekerjaan yang ada. Sistem pengajaran yang diberikan, bisa jadi banyak yang tak efektif sehingga banyak lulusan SMK tak mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan memadai. Yang paling mengkhawatirkan, kebanyakan guru yang mengajar, bukanlah guru yang memiliki jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) sehingga banyak siswa SMK kurang mendapatkan contoh sikap ulet, gigih, kreatif, produktif dan mandiri sebagaimana dicita-citakan.

Namun, apapun yang menjadi penyebab keadaan ini, berbagai upaya perbaikan harus segera dilakukan. Langkah-langkah terobosan perlu dicoba. Tujuan penyelenggaraan pendidikan di SMK perlu lebih fokus menekankan sikap kemandirian para peserta didik. Lulusan SMK harus memiliki motivasi tinggi dalam menciptakan lapangan kerja sendiri, dan tak lagi memiliki sikap mental menggantungkan pada lapangan pekerjaan yang tersedia di pasar kerja (job market). 

Tentu untuk tercapainya tujuan ini, harus dipastikan ilmu pengatahuan dan ketrampilan yang diajarkan di SMK benar-benar sesuai dengan kebutuhan. Guru berkualitas dan tepat guna juga harus diadakan. Untuk pengadaannya, perlu dilakukan cara-cara inovatif yang keluar dari jalur baku. Salah satunya adalah melakukan sinergi dengan para wirausahawan inovatif (business entrepreneurs dan social entrepreneurs) untuk terlibat dalam pengajaran di sekolah, berbagi ilmu dan pengalaman dengan para siswa dan guru. Bisa dirintis kerjasama agar lahan usaha mereka dapat menjadi bagian tempat praktik siswa untuk menimba pengalaman. 

Menghadirkan para wirausahawan inovatif (champions) yang memiliki keahlian relevan dengan materi ajar di sekolah sangat penting dilakukan. Tujuannya agar para siswa dapat mendengar langsung beragam pengalaman dalam berbisnis, termasuk bagaimana mereka jatuh bangun saat merintis usaha sebelum mereka mengecap keberhasilan. Para champions itu dapat berbagi ketrampilan secara langsung kepada para siswa. 

Para siswa perlu didorong untuk lebih sering turun lapang (experiential learning), mengunjungi lokasi-lokasi kerja para wirausahawan agar dapat melihat langsung cara kerja mereka. Dengan cara ini, diharapkan para siswa akan lebih termotivasi untuk hidup mandiri, dan lebih tertarik menjadi entrepreneur daripada menjadi pekerja perusahaan yang saat ini tampak semakin sulit memperolehnya. 

Dengan menggali pengalaman para champions yang hadir di kelas dan melihat kerja mereka di lapangan, para guru juga diharapkan akan mendapatkan tambahan wawasan dan inspirasi. Secara bertahap, para guru diharapkan dapat keluar dari “penjara text book,” tidak hanya terpaku pada kurikulum baku yang ditetapkan saat mengajar, namun mampu berubah dinamis mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia praktisi. Dengan kata lain, materi ajar harus terus ditingkatkan dan dievaluasi terus menerus agar relevan dengan kesempatan-kesempatan usaha yang tumbuh pada saat ini. 

Secara kelembagaan, tentu tak semua SMK yang ada saat ini memiliki kinerja buruk. Pasti banyak SMK yang menjadi unggulan karena berhasil menjalankan tugas sebagai lembaga pendidikan yang menciptakan kemandirian. SMK unggulan ini perlu mendapat dukungan lebih kuat dengan tugas menularkan keberhasilan mereka kepada SMK lain di dekatnya. Namun, untuk memperkaya sumber pembelajaran, “sentra-sentra pemberdayaan unggulan” dengan berbagai keahlian ilmu yang dikembangkan oleh para wirausahan sosial juga perlu diajak kerjasama. 

Di bidang pertanian, sebagai contoh, sentra-sentra itu antara lain “Joglo Tani” di Sleman, Yogya, “The Learning Farm” di Cianjur, atau “Sabila Farm” di Kaki Gunung Merepi. Untuk mendorong kerjasama ini agar dapat berjalan lebih cepat, pemerintah perlu membentuk skema anggaran khusus untuk memberi insentif terhadap dilakukannya sinergi ini.

Tentu dukungan sarana dan prasaran belajar yang memadai sangat diperlukan. Perangkat teknologi informasi digital mutlak harus disediakan agar para guru dan siswa SMK dapat membangun jejaring dengan para champions yang memiliki jiwa pendidik di manapun mereka berada. Saat ini adalah era jejaring digital. Dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar juga harus membangun jejaring dengan banyak pihak. 

Database para champions di berbagai bidang yang kini tersebar di seluruh Indonesia harus dibangun dan perlu diperbaharui secara berkala. Pemerintah harus memfasilitasi terbangunnya database ini dan memfasilitasi terhubungnya para champions untuk melakukan kerja-sama dan langkah-langkah nyata. Program-program yang kini tengah dikembangkan BAPPENAS untuk “connecting the dots (champions)” perlu segera diperluas dan direalisasikan. 

Dengan beragam perangkat media sosial seperti youtube, facebook, instagram dan lain-lain, pertukaran materi ajar dapat dihimpun dengan mudah. Perlu dibentuk jaringan guru dan instruktur kreatif yang bertugas untuk melakukan seleksi dan mendorong pengayaan materi ajar. 

Di era informasi seperti sekarang ini, semakin jelas bahwa “konten” lebih penting daripada “kemasan.” Kita perlu akui bahwa ijasah keahlian yang melekat pada guru SMK tak semua mencerminkan keahlian sesungguhnya yang relevan bagi kebutuhan siswa. Banyak para champions atau praktisi usaha (bahkan yang tak bergelar) terbukti memiliki ketrampilan lebih mumpuni dalam bidang-bidang tertentu. 

Ketrampilan yang mereka miliki sangat berguna untuk diajarkan. Jiwa para champions yang sudah teruji, baik keuletan, kegigihan, kreatifitas, produktifas dan kemandirian perlu ditularkan. Para guru dapat menjadi fasilitator untuk mempertemukan para siswa dengan para champions ini agar “virus entrepreneurships” menular pada para siswa. 

Perlu Pengorganisasian Baru

Untuk melakukan terobosan ini, tentu tak semudah membalikkan tangan. Birokrasi sekolah pasti memiliki rambu-rambu yang dapat menjadi tembok penghalang. Belum lagi aturan perundang-undangan yang biasanya menciptakan kekakuan paling sulit untuk didobrak. Karena itu, diperlukan kepiawaian untuk “mendayung melawati karang-karang.”

Imam B Prasodjo
Untuk membahas berbagai potensi rintangan, perlu inventarisasi secara menyeluruh masalah yang mungkin menjadi kendala. Namun tujuan utama dari inventarisasi ini adalah untuk mencari solusi dan mengambil langkah strategis guna merancang aksi. 

SMK inovatif perlu dikembangkan dengan memanfaatkan para champions dan sentra-sentra pemberdayaan yang mereka bangun di seluruh Indonesia. Sinergi adalah kata kunci dalam melakukan perubahan ini. 

Di sini kita memerlukan bentuk pengorganisasian baru di SMK yang lebih fleksibel, yang memungkinkan para champions masuk ke pekarangan sekolah dan kelas untuk berbagi ilmu dan pengalaman. 

Semoga generasi muda Indonesia ke depan akan menjadi generasi yang penuh vitalitas dan kreatifitas ***

Sumber : Facebook. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Efek Disrupsi, Mungkinkah Kembali ke Desa?

Oleh : Rhenald Kasali Pendiri Rumah Perubahan; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia KOMPAS.COM, 30 April 2018 Saya baru saja meninggalkan kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany, Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa. Menyeberang ke Porto, guide saya, calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan, kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan. “Di Portugal..” ujarnya. “Lebih dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,” tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan ekologi. Kembali ke Desa Tetapi Indonesia lebih serius. Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan memasuki tahap t