Langsung ke konten utama

Memilih Pekerjaan : Memilih Yang Ada ataukah Yang Sesuai Cita-cita ?


Oleh : Bambang Haryanto

Kasus : “Banyak juga saya denger waktu dulu ketika sama sama cari kerja, sesama pencari kerja yang gengsian. Alias milih-milih kerja. Pada awalnya lebih idealis, mengikuti visi pribadi, mencari pekerjaan yang cocok.

Kalau menurut saya,  apa pun kesempatan itu harus kita ambil. Baik perusahaannya itu baru mulai berdiri, perusahaannya masih rugi, yang pasti kita yang masih fresh graduate membutuhkan pengalaman kerja. 

Hal itu yang kadang membuat teman-teman fresh graduate merasa terlena, merasa lulusan universitas negeri top, indeks prestasi diatas rata-rata, lalu memilih-milih perusahaan.  

Alhasil tidak mendapatkan apa-apa, lalu kesempatan itu menjadi hilang satu persatu.” (Angga).


Solusi: “Anda mungkin mendengar banyak pendapat bahwa “pekerjaan apa pun yang ada akan lebih baik daripada tidak ada pekerjaan!” saat ini. Percayalah, hal itu tidak benar. Mungkin Anda tergoda untuk melamar pekerjaan apa pun yang Anda temukan, tetapi penting untuk tidak mengambil posisi yang Anda tahu bahwa Anda akan sengsara di kemudian hari.

Benar, saya sudah putus asa mencari pekerjaan. Lebih dari putus asa. Tapi, saya telah berpengalaman menjelajah ke tempat-tempat di mana saya segera tahu bahwa jiwa saya akan hancur jika saya bekerja di sana. Dan dalam jangka panjang, itu tidak layak.

Sebelum Anda melamar pekerjaan, buatlah dulu dua daftar. Daftar pertama Anda harus merinci judul pekerjaan “impian” Anda, meliputi jabatan, gaji, tanggung jawab Anda. Pada daftar yang kedua harus berisi apa yang akan Anda ambil dengan baik.

Meskipun ini mungkin terdengar konyol, mencantumkan apa saja yang Anda inginkan dalam pekerjaan tertentu akan benar-benar membantu untuk tidak hanya mengevaluasi jenis pekerjaan apa yang Anda inginkan tetapi juga untuk sadar seberapa “rendah” pilihan Anda.

Dan apa saja pilihan yang ada di "bawah" itu? Setelah tahu, jangan repot-repot melamarnya. Karena pilihan itu kelak akan hanya menyengsarakan hidup Anda.” (Tom Brunt).





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Efek Disrupsi, Mungkinkah Kembali ke Desa?

Oleh : Rhenald Kasali Pendiri Rumah Perubahan; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia KOMPAS.COM, 30 April 2018 Saya baru saja meninggalkan kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany, Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa. Menyeberang ke Porto, guide saya, calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan, kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan. “Di Portugal..” ujarnya. “Lebih dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,” tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan ekologi. Kembali ke Desa Tetapi Indonesia lebih serius. Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan memasuki tahap t