Langsung ke konten utama

Pascasarjana dan Ancaman Pengangguran


Oleh : Hasanudin Abdurakhman 
20 Juli 2018 

Beberapa orang dengan gelar S2 pernah mengeluh pada saya, sulit dapat kerja. Saya tanya, kenapa dulu ambil S2? Mereka memperpanjang studi dengan harapan gelar S2 akan mempermudah jalan mencari kerja.

Salah! Sebagian besar lowongan kerja yang dibuka perusahaan, ditujukan untuk lulusan S1 atau D3. Kalau Anda tidak dapat pekerjaan, itu bukan karena gelar Anda kurang tinggi. Semata karena Anda tidak punya kompetensi. Ingat, perusahaan merekrut orang karena kompetensinya, bukan karena gelarnya.
Momen Membanggakan. Upacara wisuda merupakan ritus sakral yang dinantikan oleh setiap mahasiswa. Pada momen yang sama akan juga menerbitkan pertanyaan bagi diri mereka : lalu apa sesudah ini ? Apabila mereka memilih untuk melanjutkan kuliahnya pada tingkat pascasarjana, tahukah mereka adanya jebakan telah menanti mereka ? Foto upacara wisuda di Universitas Indonesia. Kredit foto : Okezone.



Saya sering ke kampus, menemukan anak-anak yang sudah di semester akhir, masih belum tahu akan kerja apa, perusahaan apa, dengan job function apa. Mereka tidak tahu kompetensi apa yang mereka butuhkan untuk masuk pasar kerja. IP mereka bisa saja tinggi, tapi mereka tidak tahu akan melakukan apa.

Soal IP ini menarik. Sejak kuliah saya sering menemukan mahasiswa dengan IP tinggi, tapi tidak tahu apa-apa. Itu bisa bermakna bahwa mereka hanya pandai mengerjakan soal-soal ujian, biasanya karena rajin berlatih mengerjakan soal-soal ujian tahun-tahun lalu. Bisa juga bermakna bahwa mereka tidak tahu bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang diperoleh selama kuliah.

Kuliah memang bukan aktivitas menghafal pengetahuan. Kuliah itu yang utama adalah untuk membangun kerangka berpikir. Kita belajar berpikir. Dengan kerangka itu kita bisa terus belajar untuk menambah pengetahuan secara mandiri, juga berpikir untuk mencari solusi terhadap berbagai persoalan, berbasis pada pengetahuan kita. Nah, sangat banyak mahasiswa yang tidak mampu mencapai taraf ini sampai mereka lulus.

Mereka kemudian melanjutkan kesalahan itu dengan masuk ke program S2. Mereka mengira, karena sekarang lulusan S1 sudah sulit dapat kerja, maka lebih baik mempertinggi gelar. Itu perkiraan yang salah besar.

Dalam sebuah kuliah saya di sebuah PTN, hampir separuh peserta adalah mahasiswa S2. Sebagian besar dari mereka mengatakan mau jadi dosen. Saya terhenyak. Bukan karena saya menganggap jadi dosen itu jelek. Saya terhenyak karena saya tahu, lowongan untuk jadi dosen itu tidak banyak. Bisa diduga bahwa sebagian dari mahasiswa S2 ini tidak akan jadi dosen.

Lalu saya ingatkan bahwa untuk jadi dosen sekarang diperlukan kualifikasi S3. Siapkah bertarung untuk mendapatkan beasiswa S3? Saya cek kemampuan bahasa Inggris mereka, minim. Waduh!

Maaf, ini adalah orang-orang yang tak tahu harus pergi ke mana. Terang-terangan saya katakan pada mereka,”Jangan jadikan program pascasarjana sebagai sarana untuk memperpanjang masa pengangguran kalian.”

Sekali lagi ingat, Anda dapat kerja karena kompetensi, bukan gelar. Banyak orang yang sukses bekerja tanpa memiliki gelar. Banyak pula orang dengan gelar mentereng, tapi faktanya mereka menganggur. Kalau Anda merasa belum punya kompetensi, berjuanglah untuk menambah kompetensi. Bukan malah melanjutkan kuliah ke program pascasarjana. Pengangguran bergelar S2 sudah terlalu banyak.


Sumber artikel : Page Hasanudin Abdurakhman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Apa Keterampilan Menulis Mengganjal Sukses Anda Berburu Pekerjaan?

Oleh : Bambang Haryanto Kalau keterampilan menulis Anda anggap   tidak menentukan masa depan hidup Anda, tanyakan pendapat bagian perekrutan pegawai di sesuatu perusahaan . Utamanya setelah mereka menyeleksi ratusan atau ribuan surat lamaran yang membanjiri kantornya.   Jawaban yang umum mereka berikan   pastilah keluhan : antara satu pelamar dan pelamar lainnya sulit dibedakan penampilannya secara   tertulis. Calon yang potensial atau yang sebaliknya, semuanya menjual diri dengan format yang sama dan bahasa yang sama pula. Mengapa demikian ? Karena mereka memang hanya menjiplak format-format surat lamaran yang telah ada. Mereka menjiplak, walau sudah lulus sarjana pun, karena keterampilan menulisnya memang menyedihkan. Akibatnya pun fatal. Oleh karena bagian perekrutan karyawan itu rata-rata hanya memerlukan waktu beberapa detik saja dalam memeriksa dan menyeleksi sepucuk surat lamaran, maka dapat dibayangkan berapa banyak surat-surat yang bergaya seragam it