Oleh : Rhenald Kasali
Founder Rumah Perubahan
Mungkin Anda sempat menerima video tentang Google Pixel
Buds. Wireless headphone seharga 159 dollar AS yang akan beredar bulan depan
ini, dipercaya berpotensi menghapuskan pekerjaan para penerjemah.
Headphone ini mempunyai akses pada Google Assistant yang
bisa memberikan terjemahan real time hingga 40 bahasa atas ucapan orang asing
yang berada di depan Anda.
Teknologi seperti ini mengingatkan saya pada laporan PBB
yang dikeluarkan oleh salah satu komisi yang dibentuk PBB – On Financing Global
Opportunity – The Learning Generation (Oktober 2016).
Dikatakan, dengan pencepatan teknologi seperti saat ini,
hingga tahun 2030, sekitar 2 miliar pegawai di seluruh dunia akan kehilangan
pekerjaan. Tak mengherankan bila mulai banyak anak-anak yang bertanya polos
pada orang tua, “mama, bila aku besar, nanti aku bekerja di mana?”
Otot Diganti Robot
Perlahan-lahan teknologi menggantikan tenaga manusia. Tak
apa kalau itu membuat kita menjadi lebih manusiawi. Semisal kuli angkut
pelabuhan yang kini diganti crane dan forklift.
Tak hanya di pelabuhan, di supermarket pun anak-anak muda
beralih dari tukang panggul menjadi penjaga di control room. Itu sebabnya
negara perlu melatih ulang SDMnya secara besar-besaran dan menyediakan
pekerjaan alternatif seperti pertanian atau jasa-jasa lain yang masih sangat
dibutuhkan.
Tetapi teknologi tak hanya mengganti otot. Manusia juga
menggunakan teknologi untuk menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya.Di
sini kita sudah melihat robot dipakai untuk memasuki rumah yang dikuasai
teroris dan memadamkan api.
Sekarang kita mendengar tenaga-tenaga kerja yang bertugas
di pintu tol akan diganti dengan mesin. Pekerjaan di pintu-pintu tol semakin
hari memang semakin berbahaya, baik bagi kesehatan (asap karbon kendaraan),
keamanan maupun kenyamanan (tak dilengkapi toilet). Sehingga, memindahkan
mereka ke control room atau pekerjaan
lain tentu lebih manusiawi.
Tetapi, teknologi juga menggantikan jarak sehingga
pusat-pusat belanja yang ramai dan macet tiba-tiba sepi karena konsumen memilih
belanja dari genggaman tangannya dan barangnya datang sendiri.
Maka sejak itu kita menyaksikan pekerjaan-pekerjaan yang
eksis 20 tahun lalu pun perlahan-lahan akan pudar. Setelah petugas pengantar
pos, diramalkan penerjemah dan pustakawan akan menyusul.
Bahkan diramalkan profesi dosen pun akan hilang karena
kampus akan berubah menjadi semacam EO yang mengorganisir kuliah dari
ilmuwan-ilmuwan kelas dunia. Kasir di supermarket, sopir taksi, loper koran,
agen-agen asuransi, dan sejumlah besar akuntan juga diramalkan akan berkurang.
Kita tentu perlu memikir ulang pekerjaan-pekerjaan yang kita tekuni hari ini.
Pekerjaan-pekerjaan
Baru
Sebulan yang lalu, di Cambridge – UK, saya menerima
kunjungan dari mentee-mentee saya yang sedang melanjutkan study S2. Salah
satunya, Icha yang sedang duduk di program S2 bidang perfilman.
Saya pun menggali apa saja yang ia pelajari dan rencana-rencana ke depan yang bisa
dijembatani yayasan yang saya pimpin.Icha bercerita tentang ilmu yang
didapatnya.
“Kami disiapkan untuk hidup mandiri,” ujarnya. “Masa
depan industri perfilman bukan lagi seperti yang kita kenal. Semua orang kini
bisa membuat film tanpa produser dan middleman seperti yang kita kenal. Kami
diajarkan menjadi produser indies, tanpa aktor terkenal dengan kamera
sederhana, dan pasarkan sendiri via Netflix.
Ucapan Icha sejalan dengan Adam, putera saya yang sedang
mengambil studi fotografi di School of Visual Arts, New York. Ia tentu tidak
sedang mempersiapkan diri menjadi juru potret seperti yang kita kenal selama
ini, melainkan mempersiapkan keahlian baru di era digital yang serba kamera.
Adam bercerita tentang arahan dosennya yang mirip dengan
Icha di UK. “Sepuluh tahun pertama, jangan berpikir mendapatkan gaji seperti
para pegawai. Hidup mandiri, membangun keahlian dan persiapkan diri untuk 20
tahun ke depan. Tak mau susah, tak ada masa depan,” ucapnya menirukan advis
para dosen yang rata-rata karyanya banyak bisa kita lihat di berbagai galeri
internasional. Adam dilatih hidup mandiri, berjuang sedari dini dari satu
galeri ke galeri besar lainnya. Dari satu karya ke karya besar lainnya.
Memang, pekerjaan-pekerjaan lama akan banyak memudar
walau tidak hilang sama sekali. Seperti yang saya ceritakan dalam buku baru
saya, Disruption, pada pergantian abad 19 ke abad 20, saat mobil menggantikan
kereta-kereta kuda. Ribuan peternak dan pekerja yang menunggu pesanan di
bengkel-bengkel kereta kuda pun menganggur.
Namun pekerjaan-pekerjaan baru seperti montir, pegawai
konstruksi jalanan, pengatur lalu lintas, petugas asuransi, dan sebagainya pun
tumbuh. Kereta-kereta kuda tentu masih bisa kita lihat hingga hari ini, mulai
dari jalan Malioboro di Yogyakarta sampai di kota New York, Paris, atau London
melayani turis. Tetap ada, namun tak sebanyak pada eranya.
Namun pada saat ini kitapun menyaksikan munculnya
pekerjaan-pekerjaan baru yang tak pernah kita kenal 10-20 tahun lalu: Barista, blogger, web developer, apps
creator/developer, smart chief listener, smart ketle manager, big data analyst,
cyber troops, cyber psychologist, cyber patrol, forensic cyber crime
specialist, smart animator, game developer, smart control room operator,
medical sonographer, prosthodontist, crowd funding specialist, social
entrepreneur, fashionista and ambassador, BIM Developer, cloud computing
services, cloud service specialist, dog whisperer, drone operator dan
sebagainya.
Kita membaca postingan dari para bankir yang mulai
beredar, sehubungan dengan tawaran-tawaran untuk pensiun dini bagi sebagian
besar karyawannya mulai dari teller, sampai officer kredit.
Kelak, bila Blockchain Revolution seperti yang ditulis
ayah-anak Don-Alex Tapscott menjadi kenyataan, maka bukan hanya mesin ATM yang
menjadi besi tua, melainkan juga mesin-mesin EDC. Ini tentu akan merambah
panjang daftar pekerjaan-pekerjaan lama yang akan hilang.
Jangan Tangisi
Masa Lalu
Di beberapa situs kita pasti membaca kelompok yang
menangisi hilangnya ribuan atau bahkan jutaan pekerjaan-pekerjaan lama. Ada
juga yang menyalahkan pemimpinnya sebagai masalah ekonomi. Tentu juga muncul kelompok-kelompok penekan
yang seakan-akan sanggup menjadi “juru selamat” PHK. Namun perlu disadari
gerakan-gerakan itu akan berujung pada kesia-siaan. Kita misalnya menyaksikan
sikap yang dibentuk oleh tekanan-tekanan publik seperti itu dari para gubernur
yang sangat anti bisnis-bisnis online.
Mungkin mereka lupa, dunia online telah menjadi penyedia
kesempatan kerja baru yang begitu luas. Larangan ojek online misalnya, bisa
mematikan industri kuliner dan olahan rumah tangga yang menggunakan armada
go-food dan go-send.
Berapa banyak tukang martabak yang kini tumbuh seperti
jamur di musim hujan, rumah makan ayam penyet dan pembuat sabun herbal yang
juga diantar melalui gojek.
Sama halnya dengan menghambat pembayaran non-cash di
pintu-pintu tol, kita mungkin kehilangan kesempatan untuk memberikan
pelayanan-pelayanan baru yang lebih manusiawi dan lebih aman.
Satu hal yang pasti, kita harus mulai melatih anak-anak
kita menjadi pekerja mandiri menjelajahi profesi-profesi baru. Ketika mesin
dibuat menjadi lebih pandai dari manusia, maka pintar saja tidak cukup.
Anak- anak kita perlu dilatih hidup mandiri dengan mental
self-driving, self-power, kreativitas dan inovasi, serta perilaku baik dalam
melayani dan menjaga tutur katanya di dunia maya (yang sekalipun memberi ruang
kebebasan dan kepalsuan).
Rumah Perubahan, 18 October, 2017
Sumber artikel : Rumah
Perubahan. Berikut buku penting untuk Anda baca terkait topik artikel : Rhenald
Kasali, Disruption: Tak
Ada yang Tak Bisa Diubah Sebelum Dihadapi, Motivasi Saja Tidak Cukup. Gramedia
Pustaka Utama, 2017. 521 Halaman. ISBN 13 9786020338682. Resensinya di
Goodreads dapat Anda klik
disini.
Komentar
Posting Komentar