Langsung ke konten utama

Perempuan, Fobi Terhadap Teknologi Informasi ?

Oleh : Bambang Haryanto

Teknologi Informasi : Industri Tanpa Perempuan.  Itulah judul  artikel Kendra Mayfield di situs gaya hidup teknologi informasi Wired (1/12/2001), yang menggambarkan minimnya perempuan berkiprah dalam industri teknologi informasi di Eropa Barat. 

Fenomena buram itu  juga meruyak di Indonesia.  Kajian BPPT memperkirakan kaum perempuan Indonesia yang memanfaatkan  Internet pada tahun 2002 hanya 24,14 persen.  Sementara itu peran kaum Kartini kita  pun  dalam ketenagakerjaan TI  lebih dominan  pada posisi administratif, seperti menangani surat elektronik, memasukkan data, atau operator komputer. Masih sedikit sekali perempuan pada posisi tenaga  ahli dan profesional, apalagi dalam struktur pengambilan keputusan dalam industri TI. Bahkan tidak banyak perempuan berperan sebagai ilmuwan komputer dan programmer. 

Mengapa karier  bidang  TI tidak menarik kalangan perempuan ?  Antara lain, karena selama ini  citra TI yang tertanam dalam pandangan murid-murid perempuan  adalah terlalu geeky, sangar campur aneh, dan bukan sesuatu yang glamor dan memincut hati wanita.  Juga akibat  adanya kesenjangan jender yang selama ini terjadi pada mereka di sekolah dan di rumah.

Anak perempuan  sering ditakut-takuti angkernya  pelajaran  sains dan matematika, tidak hanya oleh sekolah, tetapi juga oleh orang tua mereka. Beragam isyarat atau teror halus yang tidak direncanakan itu, baik oleh  guru, baik pria atau pun wanita, dan juga orang tuanya, berdampak serius dengan terciptanya harapan  yang lebih rendah  di kalangan pelajar  perempuan untuk  terpacu menguasai  sains dan teknologi.

Bagaimana solusi terbaiknya ?  Saya sebagai seorang epistoholik, orang yang kecanduan menulis surat-surat pembaca di media, baru mampu memunculkan problema kronis ini di Harian Kompas ini.  Semoga bermanfaat adanya, sokur-sokur  dapat memancing diskusi.

Saya akan bersenang hati bila ada fihak yang sudi bergabung dalam Epistoholik Indonesia dan mau menyisihkan perhatian dengan menulis surat-surat pembaca bertopik perempuan Indonesia dalam kaitannya dengan penguasaan  teknologi informasi.  Saya tunggu !

Wonogiri, 2 Agustus 2004

PS : Tulisan ini berupa surat pembaca telah dimuat di harian Kompas Jawa Tengah, 9 Agustus 2004

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Efek Disrupsi, Mungkinkah Kembali ke Desa?

Oleh : Rhenald Kasali Pendiri Rumah Perubahan; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia KOMPAS.COM, 30 April 2018 Saya baru saja meninggalkan kawasan pedesaan yang dipenuhi kebun-kebun anggur yang indah di Tuscany, Italia. Kawasan seperti ini tiba-tiba menjadi lapangan kerja baru, menyusul upaya Uni Eropa untuk kembali ke desa. Menyeberang ke Porto, guide saya, calon dokter dari Lisbon bercerita tentang mundurnya perekonomian dan lapangan pekerjaan di Portugal. Sambil menarik nafas dalam, ia menyampaikan, kekasihnya harus pindah ke Brazil untuk mendapatkan pekerjaan. “Di Portugal..” ujarnya. “Lebih dari 40 persen kaum muda sudah pindah untuk bekerja ke luar negeri,” tambahnya. Itu sebabnya, Uni Eropa sudah berkomitmen menyalurkan 100 miliar Euro dana desa selama 6 tahun (2014-2020) untuk membangun pertanian dan ekologi. Kembali ke Desa Tetapi Indonesia lebih serius. Memang bukan karena ancaman disrupsi, tapi hampir pasti disruption akan memasuki tahap t