Langsung ke konten utama

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi|
10 September 2018


Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian. 

Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai.

Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201.

Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menganggur. Tujuh bulan terakhir dirinya tak kunjung mendapatkan pekerjaan setelah berbahagia diwisuda. 


Mahasiswa angkatan 2013 dari jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Brawijaya ini sampai tak tahu apakah ada yang salah dengan dirinya sehingga HRD perusahaan ogah meliriknya. Ia tak kurang berusaha, puluhan lamaran ia kirim ke berbagai perusahaan. Namun tak satu pun tembus.

"Pernah sampai tahap interview, tapi enggak ada kelanjutan," kata Erry, "Akhirnya saya memutuskan magang tanpa dibayar buat cari pengalaman dulu."

Setelah India dan Brasil, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan pertumbuhan lulusan universitas tertinggi. "Namun perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan karyawan yang berpotensi tinggi," ujar Lilis Halim Consultant Director Willis Tower Watson Indonesia dikutip Kompas.com.

Artinya, ada yang salah. Jika setiap tahun saja muncul 398.000 perusahaan anyar, sementara di pasar kerja tersedia 250.000 fresh graduate , seharusnya perusahaan tak perlu kekurangan tenaga kerja dong? Nyatanya enggak begitu. Usut punya usut, setiap perusahaan memiliki standar perekrutan karyawan, sementara tidak setiap lulusan memiliki kualitas yang dibutuhkan dunia kerja. Merujuk angka pengangguran saat ini, jumlahnya di atas 600.000 orang berdasar data Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Lantas di mana pangkal masalah sebenarnya?

Dugaan pertama, semua ini dipicu kebijakan pemerintah Indonesia yang tidak mengontrol izin pendirian perguruan tinggi baru, setidaknya itu menurut Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi). Pada 2017, ada lebih dari 4.000 perguruan tinggi di Indonesia, di mana sekira 97 persennya adalah kampus swasta. Aptisi menuding pemerintah terlalu gampang memberikan izin pendirian perguruan tinggi. Tapi sayangnya hal tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan.

Aptisi akhirnya mendesak pemerintah untuk melaksanakan moratorium pendirian perguruan tinggi untuk mengontrol kualitas. Bukannya menjalankan moratorium, Kemenristekdikti malah mempersingkat izin pendirian perguruan tinggi menjadi cuma tiga bulan. Saking gampangnya bikin perguruan tinggi, bangunan ruko empat lantai pun bisa disulap jadi kampus. Perkara lain, menurut Aptisi, pola persebaran perguruan tinggi juga ternyata hanya terfokus di Pulau Jawa saja, yang akhirnya memicu kesenjangan pendidikan antara daerah dengan kota.

"Dalam sepuluh tahun terakhir satu perguruan tinggi muncul di Indonesia tiap dua hari," kata mantan ketua Aptisi Edy Suandi Hamid. “Seharusnya ada unit pengawasan (kualitas)."

Kalau sudah bicara soal kualitas, mau tak mau perusahaan juga yang kena imbas. Silvy Lestari Rivan, staff HRD sebuah perusahaan konsultan perekrutan karyawan mengatakan generasi millenial harus diakui memiliki kreativitas dan keragaman pengetahuan yang tidak dimiliki generasi sebelumnya. Kendati demikian, sarjana juga harus punya pengalaman yang mumpuni sebelum terjun ke dunia kerja.

"Mereka sudah aware terhadap suatu posisi di perusahaan. Jadi kadang mereka menuntut gaji yang terlalu tinggi. Padahal pengalaman mereka belum matang," kata Silvy. "Pride mereka tinggi karena merasa kuliah sudah tinggi."

Bagi Silvy, kuncinya adalah pada pengalaman kerja. Soal IPK cuma hal kesekian dari sederet kompetensi yang diharapkan dari seorang lulusan perguruan tinggi. Yang tak kalah penting, kata Silvy, juga keahlian dan kepribadian.

"Makanya ketika kami melakukan campus hiring, kami juga mendorong mahasiswa untuk mulai mencari pengalaman, entah dengan bekerja paruh waktu, menjadi freelancer, atau magang."

"Paling gampang misalnya lulusan dengan IPK tinggi melamar sebagai sales person, tapi kemampuan menjualnya rendah, itu jelas enggak masuk kriteria," imbuh Silvy. "Makanya dalam wawancara kami enggak cuma melihat kemampuan pendidikannya, tapi juga latar belakang dan kepribadiannya."


Artikel terkait : Stupid Graduates sebagai salah satu faktor mengapa 400.000 lulusan sarjana S1 menganggur di Indonesia. Apakah Anda termasuk kategori ini pula ?

Pakar pendidikan dan mantan Guru Besar Universitas Negeri Jakarta, Arief Rachman, mengatakan kualitas perguruan tinggi selama dua puluh tahun terakhir tidak kunjung membaik. Desain kurikulum pendidikan berbagai jurusan selalu tertinggal dari kebutuhan riil industri dan bisnis. 

Semua ini, menurut Arief, adalah akumulasi kesalahan sistem pendidikan yang diwariskan era Orde Baru. Selama Suharto berkuasa, pendidikan tinggi dirancang untuk tidak menghargai proses belajar dan hanya mementingkan status akhir sebagai sarjana.

"Akhirnya banyak mahasiswa hanya mengejar status," kata Arief. "Bukan proses untuk menjadi sarjana. Akhirnya mereka jadi tak punya pemahaman apa-apa terhadap proses pendidikan yang sudah dilalui."

Penyanyi legendaris Iwan Fals sejak 1981 sudah menyoroti lewat lagunya, betapa status sebagai sarjana tak pernah memberi nilai tambah bagi anak muda di Tanah Air—terkhusus soal kemampuan mereka mencari penghidupan.

Engkau sarjana muda Resah mencari kerja Mengandalkan ijazahmu
Empat tahun lamanya Bergelut dengan buku Tuk jaminan masa depan...

Dari pintu kantor yang diharapkan
Terngiang kata tiada lowongan
Untuk kerja yang didambakan


Artinya, setelah 37 tahun sejak Iwan Fals pertama kali merilis lagu tersebut, anak muda di Tanah Air masih saja berkutat di lingkaran setan yang sama. Bangsa ini gagal naik kelas dalam mengelola pendidikan tingginya.



Artikel terkait : Berburu pekerjaan dengan semata mengandalkan iklan-iklan lowongan pekerjaan dan kemudian mengirimkan surat-surat lamaran, ibarat ribuan laron-laron yang mengerubungi lampu yang terang. Konsekuensi berat menunggu Anda !

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jangan Remehkan Baca Buku, Begini CEO Speee Hadapi Revolusi Digital

Oleh : Mega Fransisca Seberapa banyak buku yang kamu baca dalam setahun? Kalau saya, jujur, hanya dua buku dalam setahun. Hideki Otsuka Jawaban CEO Speee Inc., Hideki Otsuka, atas pertanyaan saya mengenai hobinya baca buku menarik perhatian saya. Ratusan buku ia lahap dalam setahun. Saya pun teringat dengan sebuah kutipan, “All leaders are readers”. Otsuka adalah CEO Speee Inc., perusahaan induk dari Job-Like.com. Speee Inc. beroperasi di Tokyo, Jepang, sebagai perusahaan Web Marketing sejak 2007. Beberapa waktu yang lalu, Otsuka bertandang ke Jakarta untuk bertemu kami di kantor Job-Like.com. Saya pun berkesempatan untuk berbincang dengannya. Adanya fasilitas perpustakaan di area Event Space, di kantor Speee di Tokyo membuat saya penasaran mengenai “keterikatan” dirinya dengan buku. Saya pun melontarkan pertanyaan mengapa ia getol membaca buku. Mendengar pertanyaan saya, ia tertawa. Menurutnya, buku menjadi senjata pamungkas untuk melahirkan ide

Apa Keterampilan Menulis Mengganjal Sukses Anda Berburu Pekerjaan?

Oleh : Bambang Haryanto Kalau keterampilan menulis Anda anggap   tidak menentukan masa depan hidup Anda, tanyakan pendapat bagian perekrutan pegawai di sesuatu perusahaan . Utamanya setelah mereka menyeleksi ratusan atau ribuan surat lamaran yang membanjiri kantornya.   Jawaban yang umum mereka berikan   pastilah keluhan : antara satu pelamar dan pelamar lainnya sulit dibedakan penampilannya secara   tertulis. Calon yang potensial atau yang sebaliknya, semuanya menjual diri dengan format yang sama dan bahasa yang sama pula. Mengapa demikian ? Karena mereka memang hanya menjiplak format-format surat lamaran yang telah ada. Mereka menjiplak, walau sudah lulus sarjana pun, karena keterampilan menulisnya memang menyedihkan. Akibatnya pun fatal. Oleh karena bagian perekrutan karyawan itu rata-rata hanya memerlukan waktu beberapa detik saja dalam memeriksa dan menyeleksi sepucuk surat lamaran, maka dapat dibayangkan berapa banyak surat-surat yang bergaya seragam it