Oleh :
Bambang Haryanto
Problem. Seratus kali ditolak ? Sepertinya
melamar pekerjaan bagi saya seperti bernafas. Kalau sampai lupa cari pekerjaan
seperti tidak bisa bernafas. Saya terus mencari pekerjaan yang sesuai dengan
ilmu dan passion saya.
Sering juga saya
mengikuti psikotes, wawancara, dan forum grup diskusi. Namun masih gagal.
Apalagi sekarang saya sudah menikah.
Pernah ada
beberapa cerita. Saya sudah lolos sampai tahap 4 seleksi dan itu adalah wawancara
final. Awal bicara masih sangat asyik dan nyambung
tanpa lupa tata krama . Beliau terlihat sangat excited, tapi ketika wawancara hampir usai beliau
bertanya : " Kamu sudah berkeluarga apa belum? "
Saya jawab :
"Sudah" .
Dan seketika
interview dilanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat jauh dari kata santai. Lalu beliau
bilang " sebenarnya saya mencari kandidat yang masih single" (Jelas-jelas
di iklan tidak tercantum).
Di situ saya
merasa sedih. Saya percaya bahwa pernikahan adalah kunci pembuka rejeki
yang lain. Tapi???? Mohon sarannya . Saya hampir hopeless pak. (NX, seorang insinyur teknik kimia)
“Sama seperti saya bu, saya sudah menikah
bahkan sudah punya anak. Melamar kerja sudah lupa berapa banyak dalam sehari. Apply di portal job sana sini, bahkan sampai
email masuk pun saya gerak cepat buka.
Tapi ketika tes terutama
wawancara, ya selalu yang jadi kendala adalah status menikah dan punya
anak. Apalagi ditambah saya yang ga punya pengalaman kerja apa-apa.
Langsung banyak pertanyaan yang
sifatnya pribadi seperti, ‘Nanti suami bagaimana? Anak bagaimana? Dan lain-lain.’ Sampai saya tuh bosen jawabnya.”
Solusi. Cerita di atas bukan fiksi. Penulis
status di atas mengeluarkan curhat-nya
di situs pengembangan karier dan pencari kerja Linkedin. Belasan warga jaringan kemudian
ikut menimpali. Komentarnya,kebanyakan standar. Seperti meminta untuk sabar dan terus
berusaha.
Kalau di
negara-negara Barat wawancara kerja yang mempersoalkan status perkawinan pelamarkerja senyatanya termasuk pertanyaan yang ilegal, melanggar hukum. Pertanyaan ilegal lainnya antara lain :
Berapa umur Anda ?
Kapan Anda lulus?
Bagaimana kondisi kesehatan
Anda?
Apa agama Anda? Apakah
Anda merayakan hari raya keagamaan?
Apakah Anda pernah
ditangkap atau berurusan dengan polisi ?
Dari negara mana Anda
berasal?
Apakah Anda suka minum-minum
(alkohol) dalam pesta?
Bercermin dari aturan main
perekrutan di negara-negara maju di atas, kiranya kini para pencari kerja di
Indonesia harus berani menyuarakan hal penting tersebut. Sehingga tindak diskriminasi
yang halus atau pun yang terang-terangan dalamproses perekrutan dapat diminimalkan.
Sementara itu dapat saya tambahkan wawasan berikut ini :
Berburu pekerjaan sebenarnya banyak caranya. Tetapi
yang dikenal oleh banyak pencari kerja adalah cara yang populer, yang
menempatkan perusahaan sebagai lampu terang dan pencari kerja adalah
laron-laron yang mengerubunginya.
Baik perekrutan itu dilakukan melalui pemasangan iklan
sampai penyelenggaraan job fair, senyatanya membuat pencari kerja berada di
fihak yang (relatif) lemah. Seleksi sampai penolakannya bisa penuh dengan bias,
membuat pencari kerja tidak tahu alasannya ditolak, dan bila itu terjadi berulang
kali bisa menimbulkan trauma dan rasa putus asa.
Di era digital dan media sosial ini,
usul saya, seharusnya pencari kerja jangan mau terus mendudukan diri menjadi
laron, tetapi jadilah lampu yang terang. Biar perusahaan yang berbalik posisi menjadi
laron-laron yang berkompetisi mengerubungi Anda. Sehingga Anda memiliki advantage untuk memilih pekerjaan yang
sesuai dengan karakter, passion dan
kondisi Anda.
Tapi ya, cara itu pastinya butuh
kerja keras. Butuh pembelajaran baru, demi mampu menguak cakrawala perjuangan
yang baru di era digital dewasa ini.
Cara revolusioner dan radikal itu jelas tidak semudah kita buka koran, baca-baca
iklan lowongan, atau menemukannya dengan menelusur lewat Google, dan lalu kirim-kirim surat lamaran, dengan
ujung penantian tanpa akhir dan Anda sebagai pencari kerja rawan terjerembab
dalam lembah putus asa.
Berburu pekerjaan itu berat, teman.
Anda bisa merujuk kepada pendapat
pakar pemasaran kelas dunia Al Ries dan
Jack Trout dalam bukunya Horse Sense :
The Key to Success Is Finding a Horse to Ride (1991), bahwa "pekerjaan
yang paling penting dan sekaligus paling sulit adalah memasarkan diri kita
sendiri."
Ayo bangkit. Ayo belajar lagi.
Rajin berkunjunglah ke perpustakaan.
Atau ke toko-toko buku.
Untuk memperoleh informasi dan wawasan baru mengenai dinamika dunia pekerjaan yang dinamis dan cepat berubah. Anda jangan ketinggalan dengan kemajuan jaman !
Rajin berkunjunglah ke perpustakaan.
Atau ke toko-toko buku.
Untuk memperoleh informasi dan wawasan baru mengenai dinamika dunia pekerjaan yang dinamis dan cepat berubah. Anda jangan ketinggalan dengan kemajuan jaman !
Komentar
Posting Komentar