Langsung ke konten utama

Harapan Laron-Laron S-1 Itu Terbunuh Satu Demi Satu


Oleh : Bambang Haryanto
 

Dijamin membeludak.
Ribuan para pencari kerja dipastikan senantiasa membanjiri Pameran Bursa Kerja atau Job/Career Fair, di mana pun diadakan. Termasuk yang berlangsung di Solo (20-21/7/2011).  Realitas tersebut sebenarnya merupakan sebagian cerminan hal buruk tentang kepedulian lembaga pendidikan kita terhadap para lulusannya.

 

Lembaga pendidikan itu nampak hanya kemaruk merekrut calon mahasiswa, lalu berusaha cepat meluluskannya. Setelah diwisuda, hanya nasib saja yang menuntun mereka. Membeludaknya pencari kerja yang menerjuni bursa-bursa kerja itu tidak lebih merupakan arena perjudian nasib semata. Sekaligus menunjukkan rendahnya penguasaan metode ilmiah yang mereka reguk di bangku pendidikan untuk diaplikasikan di dunia nyata.
 

Sebab strategi berburu pekerjaan seharusnya dilakukan secara sistematis. Persis seperti ketika mereka menulis skripsi. Diawali dengan penentuan topik skripsi bersangkutan. Dalam langkah berburu pekerjaan langkah awal itu adalah melakukan self-assessment, menilai secara kritis dirinya sendiri, guna menentukan sasaran yang sesuai bakat, minat, temperamen dirinya.
 

Juga meriset kualifikasi pekerjaan sampai detil informasi pelbagai perusahaan sasaran, pengumpulan data wawancara dengan karyawan yang pekerjaan atau karirnya ingin diterjuni, menggalang jejaring atau networking, sampai ujian skripsi (tes wawancara kerja).

Metode sistematis yang lebih agresif dan efektif ini tidak berbau untung-untungan. Sarana teknologi komunikasi dan informasi kini melimpah tersedia, sehingga perburuan pekerjaan tidak semata terpaku pada satu metode berbau perjudian, selain terjun dalam bursa kerja, adalah membalas iklan-iklan lowongan pekerjaan yang muncul di media massa.


Rata-rata pencari kerja tidak tahu bahwa sebenarnya lowongan yang muncul dalam iklan di media massa senyatanya hanya 15 persen dari seluruh lowongan yang tersedia. Sisanya yang jauh lebih besar, sebesar 85 persen tersembunyi, dan hanya pencari kerja yang smart saja yang mampu mengeksploitasinya.


Belum lagi statistik menunjukkan, yang juga telah saya tulis di kolom surat pembaca harian Suara Merdeka (28/8/2003) betapa dengan mengandalkan surat lamaran semata maka pekerjaan tersebut baru akan diperoleh bagi mereka yang telah mengirimkan 1.470 pucuk surat lamaran.
Mari kita belajar matematika. Apabila dirinya setiap hari mengirimkan sepucuk surat lamaran, maka waktu yang dibutuhkan 4 tahun lebih. Kemudian bila satu pucuk surat lamaran itu menghabiskan biaya Rp 10 ribu maka dibutuhkan dana sebesar Rp 14,7 juta !

Berburu pekerjaan bermetode ilmiah seperti dianjurkan oleh para pakar seperti Richard Nelson Bolles (terlampir sampul buku panduan kariernya yang terkenal), John Crystal, Tom Jackson, Daniel Porot, Caroline Hyatt, Marilyn Moats Kennedy, John Truitt, Jason Robertson sampai Paul Hellman, membekali tiap diri pencari kerja dengan pengetahuan yang rasional, keyakinan baja, dan jauh dari taktik perjudian semata.

Oleh mereka, setiap diri pencari kerja senantiasa diyakinkan bahwa mereka adalah sebagai pemecah persoalan, problem solver, bagi perusahaan yang diincar. Sayang sekali, mayoritas pencari kerja kita lebih suka mendudukkan diri hanya sebagai fihak pencipta persoalan, problem maker, sebagai pengemis pekerjaan.Posisi kerdil ini jelas membuat dirinya sudah kalah sebelum bertanding.


Hal parah itu terjadi karena mereka tidak mampu mengenali diri mereka sendiri, tidak mengenali kelebihan atau pun kekurangannya, juga tidak tahu menahu tentang tuntutan pekerjaan atau bisnis inti perusahaan sasarannya. Meminjam ajaran strategi perangnya Sun Tzu, mereka yang tahu dirinya sendiri dan tahu lawannya, akan senantiasa meraih kemenangan ; mereka tahu dirinya atau lawannya kadang menang dan kadang kalah ; sedang mereka yang tidak tahu tentang dirinya sendiri atau pun lawannya akan ditakdirkan selalu mengalami kekalahan.


Pribadi-pribadi pencari kerja dengan metode usang dan tradisional, adalah mereka yang akan selalu mengalami kekalahan. Yaitu sebagian besar dari mereka yang mengundang iba karena rela terjun dalam hiruk pikuk berburu kerja di tengah bursa tenaga kerja yang heboh itu.

 

Mereka ibarat laron-laron yang riuh mengerubungi bola lampu yang benderang, tetapi semata mempraktekkan akal-akalan jalan pintas yang sangat sarat aroma perjudian nasib semata. Setiap perjudian senantiasa menimbulkan lebih banyak korban kekalahan.

Mereka yang kalah itu akan lebih banyak diam, dan bunga harapan yang disemai sejak mereka usai wisuda itu akan hanya terkulai satu demi satu.



Wonogiri, 19/7/2011

  
Foto : Krisandari         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Melacak Penyebab Ribuan Sarjana Menganggur di Indonesia Tak Kunjung Dilirik Perusahaan

Oleh : Adi Renaldi | 10 September 2018 Kalau kamu termasuk sarjana baru yang sampai detik ini meratapi nasib gara-gara tak ada panggilan kerja meski ratusan surat lamaran sudah dikirim ke perusahaan, tenang saja, kamu tidak sendirian.  Hasil survei dari Willis Towers Watson yang dilakukan sejak 2014 hingga 2016 menyebutkan delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai. Padahal, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahunnya mencapai 250 ribu orang. Ironisnya lagi, pertumbuhan jumlah perusahaan di Indonesia termasuk pesat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam satu dekade terakhir, ada 3,98 juta perusahaan baru muncul di Tanah Air. Itu berarti setidaknya setiap tahun bermunculan 398.000 perusahaan rintisan. Kini total perusahaan di Indonesia mencapai 26,71 juta berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 201. Erry Hadisto termasuk satu dari ribuan lulusan strata 1 yang terpaksa menga

Apa Keterampilan Menulis Mengganjal Sukses Anda Berburu Pekerjaan?

Oleh : Bambang Haryanto Kalau keterampilan menulis Anda anggap   tidak menentukan masa depan hidup Anda, tanyakan pendapat bagian perekrutan pegawai di sesuatu perusahaan . Utamanya setelah mereka menyeleksi ratusan atau ribuan surat lamaran yang membanjiri kantornya.   Jawaban yang umum mereka berikan   pastilah keluhan : antara satu pelamar dan pelamar lainnya sulit dibedakan penampilannya secara   tertulis. Calon yang potensial atau yang sebaliknya, semuanya menjual diri dengan format yang sama dan bahasa yang sama pula. Mengapa demikian ? Karena mereka memang hanya menjiplak format-format surat lamaran yang telah ada. Mereka menjiplak, walau sudah lulus sarjana pun, karena keterampilan menulisnya memang menyedihkan. Akibatnya pun fatal. Oleh karena bagian perekrutan karyawan itu rata-rata hanya memerlukan waktu beberapa detik saja dalam memeriksa dan menyeleksi sepucuk surat lamaran, maka dapat dibayangkan berapa banyak surat-surat yang bergaya seragam it

Sumber Daya Manusia : Data Raksasa untuk Merekrut Karyawan

Oleh : Andreas Maryoto Kompas, Jumat, 4 Mei 2018 : 17 Ketika perusahaan Anda masih merasa diburu dan dibutuhkan pelamar kerja, maka Anda biasa terperangkap. Risiko paling fatal, mendapat kandidat yang tidak berbakat. Perekrutan karyawan harus diakui, “dirusak” oleh industri digital yang lebih yang lebih efisien dan mengenalkan cara perekrutan yang cepat dan menarik bagi calon karyawan. Pelamar berbondong-bondong mengantre masuk ke industridigital, sementara perusahaan mapan mulai ditinggal. Diskusi tentang perekrutan sumber daya manusia korporasi dan cara menarik mereka bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga di sejumlah negara. Cara perekrutan menjadi topik teratas di sejumlah perusahaan. Selama ini,perusahaan-perusahaan mapan menunggu para pelamar. Bahkan, dikesankan, untuk masuk perusahaan itu sangat sulit. Kini,orang mudah mendapat informasi pekerjaan dan mudah pula mengirim lamaran pekerjaan. Hanya perusahaan yang membuat strategi baru yang mampu menjaring calon-